LARANGAN BERDEBAT DENGAN AHLI BID’AH

BAB 18

Bukanlah Ghibah Menceritakan Keadaan Ahli Bid’ah Menurut Salafus Shalih

178. Dari Al A’masy dari Ibrahim ia berkata :
“Bukanlah ghibah menceritakan keadaan ahli bid’ah.” (Al Lalikai 1/140 nomor 276)

179. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Menerangkan keadaan ahli bid’ah dan kefasikan orang yang berbuat fasiq terang-terangan bukan perbuatan ghibah.” (Al Lalikai nomor 279-280)

180. Dan kata beliau selanjutnya :
“Bukanlah ghibah menceritakan kesalahan (aib) ahli bid’ah.” (Ibid nomor 279-280)

181. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Siapa yang masuk kepada ahli bid’ah maka tidak ada kehormatan baginya.” (Al Lalikai nomor 282)

182. Dari Sufyan bin Uyainah berkata, Syu’bah pernah berkata :
“Kemarilah kita (berbuat) ghibah di jalan Allah Azza wa Jalla.” (Al Kifayah 91 dan Syarah Ilal At Tirmidzy 1/349)

183. Dari Abi Zaid Al Anshary An Nahwiy berkata, Syu’bah mendatangi kami pada waktu turun hujan dan berkata :
“Ini bukanlah hari (pelajaran) hadits, hari ini adalah hari ghibah, marilah melakukan ghibah tentang para pembohong itu.” (Al Kifayah 91)

184. Dari Makky bin Ibrahim ia berkata, Syu’bah mendatangi Imran bin Hudair dan berkata : “Hai Imran, marilah kita ghibah sesaat di jalan Allah Azza wa Jalla.”
Kemudian mereka menyebut-nyebut kejelekan (kesalahan) para perawi hadits. (Al Kifayah 91)

185. Abu Zur’ah Ad Dimasyqi berkata, saya mendengar Abu Mushir (ketika) ditanya tentang seorang rawi yang keliru dan kacau serta menambah-nambah dalam meriwayatkan hadits, ia berkata : “Terangkan keadaan orang itu!”
Maka saya bertanya kepada Abu Zur’ah : “Apakah itu tidak Anda anggap ghibah?”
Ia menjawab : “Tidak.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349 dan Al Kifayah 91 dan 92)

186. Ibnul Mubarak berkata : “Al Ma’la bin Hilal adalah rawi hanya saja jika datang satu hadits ia berdusta (berbuat dusta dengan hadits itu).”
Seorang Sufi berkata : “Hai Abu Abdirrahman, Anda berbuat ghibah?”
Maka beliau menjawab : “Diamlah kau! Jika kami tidak menerangkan hal ini bagaimana mungkin dapat diketahui mana yang haq mana yang bathil?” (Al Kifayah 91 dan 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)

187. Abdullah bin (Imam) Ahmad bin Hanbal berkata, Abu Turab An Nakhsyabi datang kepada ayahku lalu beliau mulai berkata : “Si Fulan dlaif, si Fulan tsiqah.”
Berkatalah Abu Turab : “Wahai Syaikh, janganlah mengghibah ulama.”
Ayahku segera menoleh ke arahnya dan berkata : “Celakalah kamu! Ini adalah nasihat bukan ghibah.” (Al Kifayah 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)

188. Muhammad bin Bundar As Sabbak Al Jurjaniy berkata, saya mengatakan kepada Imam Ahmad bahwa sangat berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan dlaif, si Fulan pendusta.
Maka beliau berkata : “Jika kamu diam dalam perkara ini dan saya juga diam maka siapa lagi yang akan menerangkan kepada orang-orang yang bodoh mana hadits yang shahih dan mana yang lemah?!” (Al Kifayah 92, Syarh Ilal At Tirmidzy, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/231)

189. Dari Syaudzab (katanya) dari Katsir Abu Sahl ia berkata :
“Dikatakan bahwa ahli ahwa (ahli bid’ah) itu tidak mempunyai kehormatan.” (Al Lalikai 1/140 nomor 281)

190. Dari Al Hasan bin Aly Al Iskafy ia berkata, saya bertanya kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang pengertian ghibah, beliau menerangkan : “Ghibah itu ialah jika kamu tidak menolak aib seseorang.”
Saya bertanya lagi, bagaimana dengan seorang yang mengatakan : “Si Fulan tidak mendengar hadits dari seseorang dan si Fulan keliru?”
Beliau menjawab : “Seandainya hal ini ditinggalkan manusia maka tidak akan pernah diketahui shahih atau tidaknya suatu hadits.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)

191. Ismail Al Khathaby berkata, Abdullah bin (Imam) Ahmad menceritakan kepada kami bahwa ia berkata kepada ayahandanya :
“Apa yang Anda katakan mengenai para rawi yang mendatangi seorang syaikh yang barangkali ia seorang Murjiah atau Syi’iy atau dalam diri syaikh itu terdapat perkara yang menyelisihi As Sunnah apakah ada kelonggaran buat saya untuk diam dalam hal ini ataukah saya harus memperingatkan manusia agar berhati-hati dari syaikh ini?”
Ayahku menjawab : “Jika ia mengajak orang kepada bid’ah sedangkan dia adalah imam ahli bid’ah maka benar kamu harus memperingatkan manusia dari syaikh ini.” (Al Kifayah 93 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)

=======================================================

BAB 23
Sebab-Sebab Jatuhnya Seseorang Kepada Bid’ah Dan Hawa Nafsu

220. Ibnu Baththah Al Ukbary berkata :
“Saya pernah melihat sekelompok manusia yang dahulunya melaknat dan mencaci ahli bid’ah lalu mereka duduk bersama ahli bid’ah untuk mengingkari dan membantah mereka dan terus menerus orang-orang itu bermudah-mudah sedangkan tipu daya itu sangat halus (tersamar) dan kekafiran sangat lembut (merambat) dan akhirnya tercurah kepada mereka.” (Al Ibanah 2/470)

221. Muhammad bin Al Ala’ Abu Bakr menceritakan kepada kami dari Mughirah ia berkata, Muhammad bin As Saib keluar –dan ia bukan ahli bid’ah– ia berkata :
“Pergilah bersama kami sampai kita mendengar ucapan mereka (ahli bid’ah) maka ia tidak kembali sampai akhirnya ia menerima kebid’ahan itu dan hatinya terikat dengan ucapan mereka.” (Al Ibanah 2/470 nomor 476-477 dan Tahdzibut Tahdzib 8/113)

222. Al Ashma’i berkata :
“Mu’tamir menceritakan kepada kami dari Utsman Al Buty, ia berkata bahwa Imran bin Haththan adalah seorang Sunniy lalu datang pelayan dari penduduk Amman seperti bighal (seorang mubtadi’, ed.) maka ia membalikkan hatinya di tempat duduknya (berubah saat itu juga, ed.).” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf halaman 36)

223. Abu Hatim berkata, diceritakan kepadaku dari Abu Bakr bin Ayyasy, ia berkata, Mughirah mengatakan bahwa Muhammad bin As Saib berkata :
“Marilah kita menuju ke tempat orang Murjiah agar mendengar ucapan mereka.”
(Kata Mughirah) akhirnya ia tidak kembali sampai hatinya terpaut dengan ucapan itu. (Al Ibanah 2/462-471 nomor 449 dan 480)

============================================================

BAB 24
Pedoman Agar Tidak Jatuh Kepada Kebid’ahan Dan Hawa Nafsu

224. Ahmad bin Abil Hawary berkata, Abdullah bin As Sariy –seorang yang khusyu’ dan belum pernah saya dapati orang yang lebih khusyu’ daripadanya– ia berkata :
“Bagi kami bukanlah dikatakan Sunnah jika kamu membantah ahli bid’ah namun Sunnah itu adalah bahwa kamu tidak mengajak ahli bid’ah berbincang-bincang.” (Al Ibanah 2/471 nomor 478 dan 479)

225. Hammad bin Zaid dari Ayyub ia berkata :
“Tidak ada bantahanku terhadap mereka yang lebih keras daripada diamku (tidak mengajak mereka berbicara, ed.).” (Ibid)

226. Abu Abdillah bin Baththah berkata :
[ Allah, Allah, wahai kaum Muslimin, janganlah ada seorang pun dari kalian yang terbawa oleh sikap baik sangka terhadap dirinya sendiri atau oleh pengetahuannya tentang madzhab yang benar untuk (mencoba) masuk ke dalam bahaya yang mengancam agamanya (seandainya) ia duduk dengan ahli bid’ah lalu ia berkata :
“Saya akan menemui mereka untuk mematahkan hujjah mereka atau saya akan membuat mereka keluar dari madzhab mereka yang rusak ini.”

Sebab sesungguhnya ahli bid’ah itu lebih berbahaya dari dajjal dan ucapan mereka lebih melekat dari penyakit kudis bahkan lebih membakar dari lidah api. ] (Ibid)

227. Imam Ahmad berkata :
“Yang selalu kami dengar dan kami dapatkan dari uraian Ahli Ilmu bahwa mereka sangat membenci perbincangan dan duduk dengan ahli zaigh dan sesungguhnya perkara penting dalam agama ini adalah sikap menerima (tunduk) dan kembali kepada apa yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah bukan duduk-duduk dengan ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah argumentasi mereka karena sesungguhnya mereka tentu akan mengelabui kamu sedangkan mereka tidak akan kembali (kepada yang haq). Maka yang selamat –Insya Allah– adalah dengan meninggalkan majelis mereka dan tidak membahas bid’ah dan kesesatan mereka.” (Al Ibanah 2/472 nomor 481)

=====================================================

BAB 25
Membantah Ahli Bid’ah Harus Dengan As Sunnah

228. Umar bin Al Khaththab berkata :
“Akan datang orang-orang yang akan mendebatmu dengan ayat-ayat mutasyabihat dari Al Quran maka bantahlah mereka dengan As Sunnah karena sesungguhnya Ahlus Sunnah paling tahu kandungan Kitab Allah Azza wa Jalla.” (Al Hujjah 1/313, Asy Syari’ah 58, Ad Darimy 1/62 nomor 119, Al Lalikai 1/123 nomor 202, Al Ibanah 1/250 nomor 83 dan 84, Al Baghawy 1/202)

229. Ini juga dikatakan Aly bin Abi Thalib. (Al Lalikai 1/123 nomor 203 dan Al Hujjah 1/313)

230. Ibnu Rajab Al Hanbaly menukil keterangan sebagian ulama Salafus Shalih bahwa dikatakan kepadanya : “Bolehkah seseorang yang mempunyai ilmu tentang As Sunnah membantah ahli bid’ah?”
Ia menjawab : “Tidak! Tapi hendaknya ia menerangkan As Sunnah itu kalau diterima itu lebih baik baginya dan jika tidak maka (sebaiknya) ia diam saja (jangan berdebat, ed.).” (Bayanu Fadlli Ilmis Salaf ala Ilmil Khalaf halaman 36)

231. Ibnu Baththah Al Akbary berkata :
“Hendaknya bekalmu untuk membimbing dan menghentikan bid’ah bersumber dari Al Quran dan As Sunnah serta Atsar yang shahih yang datang dari ulama ummat ini baik dari shahabat maupun tabi’in.” (Al Ibanah 2/541)

===========================================

BAB 26
Shifat Al Ghuraba’

232. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Ikutilah jalan-jalan petunjuk! Dan tidak akan merugikanmu meskipun sedikit orang yang menempuhnya. Sebaliknya jauhilah jalan-jalan kesesatan! Dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang celaka di dalamnya.” (Al I’tisham 1/112)

233. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Amal yang sedikit dalam Sunnah lebih baik daripada amalan yang banyak di dalam bid’ah.” (Tahdzibut Tahdzib 10/180)

234. Beliau juga berkata :
“Wahai Ahlus Sunnah, berteman baiklah kalian! –Semoga Allah merahmati kamu– sesungguhnya kalian adalah kelompok manusia yang sangat sedikit jumlahnya.” (Al Lalikai 1/57 nomor 19)

235. Dari Yunus bin Ubaid ia berkata :
“Seorang yang disampaikan kepadanya As Sunnah kemudian menerimanya akhirnya menjadi orang yang asing namun lebih asing lagi adalah yang menyampaikannya. (Beruntunglah orang-orang yang asing, pent.).” (Al Lalikai 1/58 nomor 21 dan Al Hilyah Abu Nu’aim 3/12)

236. Abu Idris Al Khulaniy berkata :
“Saya mendengar bahwa dalam Islam ini terdapat tali tempat bergantung manusia dan tali itu akan terurai seutas demi seutas tali maka yang pertama terlepas dari tali itu adalah sifat halim (lemah-lembut) dan yang paling akhir adalah shalat.” (Ibnu Wudldlah 73)

237. Dari Ibnul Mubarak dari Sufyan Ats Tsauri ia berkata :
“Berwasiatlah kamu terhadap Ahlis Sunnah dengan kebaikan karena sesungguhnya mereka adalah Ghuraba’ (orang-orang yang asing).” (Al Lalikai 1/644 nomor 49-50)

238. Dari Yusuf bin Asbath ia berkata, saya mendengar Sufyan Ats Tsauri berkata :
“Jika kamu mendengar berita bahwa di belahan bumi timur ada seorang Ahli Sunnah dan di barat ada seorang Ahli Sunnah, kirimkanlah salam buat keduanya dan doakan kebaikan untuk mereka! Sungguh alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah itu.” (Ibid)

=========================================================

BAB 21
Titik (Tujuan) Akhir Ahli Bid’ah Dan Sifat-Sifat Mereka

198. Dari Abu Qilabah ia berkata :
“Tidaklah seseorang berbuat bid’ah melainkan (suatu saat) ia akan menganggap halal menghunus pedang (menumpahkan darah).” (Al I’tisham 1/112 dan Ad Darimy 1/58 nomor 99)

199. Ayyub menamakan para mubtadi’ itu (sebagai) Khawarij dan ia menyatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Khawarij itu nama dan julukan mereka berbeda namun mereka bersepakat dalam menghalalkan darah kaum Muslimin. (Al I’tisham 1/113)

200. Abu Qilabah berkata :
“Sesungguhnya ahlul ahwa itu adalah orang-orang yang sesat dan saya tidak menganggap ada tempat kembali mereka selain neraka.” (Al I’tisham 1/112 dan Ad Darimy 1/158)

201. Seseorang berkata kepada Ibnu Abbas : “Segala puji hanya bagi Allah yang telah menjadikan hawa nafsu kami (berjalan) di atas hawa nafsu kalian (para shahabat).”
Ibnu Abbas menukas : “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kebaikan sedikitpun di dalam hawa nafsu ini. Dan ia dinamakan hawa karena ia menjerumuskan pemiliknya ke dalam neraka.” (Asy Syarhu wal Ibanah 123 nomor 62)

202. Pendapat tersebut juga berasal dari Al Hasan Al Bashry, Mujahid, Abul Aliyah, dan Asy Sya’bi. (Asy Syarhu 124 nomor 63 dan Ad Darimy 1/120 nomor 395)

203. Ibnu Sirin berpendapat bahwa orang yang paling segera murtad adalah ahlul ahwa (mubtadi’). (Al I’tisham 1/113)

204. Dari Abi Ghalib dari Umamah, ia berkata mengenai ayat :
“Lalu mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat (samar)” (QS. Ali Imran : 7)
Bahwa ayat ini menerangkan keadaan orang Khawarij dan para ahli bid’ah. (Al Ibanah 2/606 nomor 783)

205. Dari Ma’mar dari Qatadah ia menerangkan maksud ayat :
“Adapun orang-orang yang di hatinya terdapat zaigh (kecenderungan kepada kesesatan)”
Ia berkata : “Jika yang dimaksud ayat ini bukan Khawarij dan kaum Sabaiyyah, saya tidak tahu lagi siapa mereka. Demi Allah, seandainya orang Khawarij itu di atas hidayah tentulah mereka akan bersatu namun ternyata mereka di atas kesesatan maka mereka bercerai-berai. Begitupula segala perkara yang bukan berasal dari sisi Allah tentu akan terdapat di dalamnya perselisihan yang sangat banyak. Demi Allah sungguh Haruriyyah itu benar-benar bid’ah dan Sabaiyyah juga benar-benar bid’ah yang tidak pernah ada dalam satu kitab pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang Nabi pun.”
Ibnu Baththah Al Ukbary berkata : “Al Haruriyyah adalah Khawarij dan As Sabaiyyah adalah kaum Rafidliy pengikut Abdullah bin Saba’ yang dibakar oleh Aly bin Abi Thalib dan hanya tertinggal sebagian di antara mereka.” (Al Ibanah 2/607 nomor 785)

206. Dari Ayyub dari Abu Qilabah ia berkata :
[ Sesungguhnya ahlil ahwa adalah orang-orang yang sesat. Saya menganggap tidak ada tempat kembali mereka selain neraka. Cobalah kalian uji mereka maka tidak ada satu pun dari mereka yang meyakini suatu ucapan atau berpendapat dengan satu pendapat lalu urusan mereka berakhir kecuali dengan pedang (menumpahkan darah). Dan sesungguhnya karakter kemunafikan itu beraneka-ragam modelnya. Kemudian ia membaca :

“Di antara mereka ada yang mengikat janji kepada Allah.” (QS. At Taubah : 75)

“Di antara mereka ada yang mencelamu dalam (pembagian) zakat.” (QS. At Taubah : 58)
“Dan di antara mereka ada yang menyakiti Nabi.” (QS. At Taubah : 61)

Ucapan mereka berbeda-beda namun mereka bersatu dalam keraguan, kedustaan, dan pedang (penumpahan darah kaum Muslimin). Dan saya menganggap bahwa tempat kembali mereka tidak lain adalah neraka. ] (Ad Darimy 1/58 nomor 100)

Kemudian Ayyub mengatakan : “Abu Qilabah adalah –demi Allah– salah seorang dari para fuqaha’ yang berakal (cerdas).”

207. Sa’id bin Anbasah berkata :
“Tidak akan ada seseorang yang mengerjakan suatu kebid’ahan kecuali dengki hatinya terhadap kaum Muslimin dan tercabut amanah dari dirinya.” (Ibanah Ash Shughra 135 nomor 98-100)

208. Al Auza’iy berkata :
“Tidaklah seseorang berbuat suatu bid’ah melainkan hilang sikap wara’-nya.” (Ibid)

209. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Tidaklah seseorang berbuat suatu bid’ah melainkan keimanannya akan berlepas diri darinya.” (Ibid)

210. Imam Al Barbahary berkata (Syarhus Sunnah halaman 122) :
“Dan ketahuilah sesungguhnya hawa nafsu itu semuanya rendah dan selalu mengajak kepada pedang (penumpahan darah).”

Saya (Jamal) berkata : “Engkau lihat firqah-firqah dan hizb (golongan) yang ada dewasa ini seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyyah, Al Jabhah (di Aljazair), Tandhimul Jihad, Firqah At Turabi, Hizb Mas’udi dan lain-lain di manapun juga. Seolah-olah mereka berselisih sesama mereka namun (ternyata) mereka bersepakat dalam (urusan) pedang yaitu menghalalkan darah kaum Muslimin dan memusuhi Ahlus Sunnah.”

(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari http://www.assunnah.cjb.net

http://www.salafy.or.id

About sesungguhnya pacaran dan musik itu haram hukumnya ( www.jauhilahmusik.wordpress.com , www.pacaranituharam.wordpress.com )

pops_intansay@yahoo.co.id
This entry was posted in muslim.or.id. Bookmark the permalink.

Leave a comment